Bukan, perjalanan pertama saya ke luar negeri bukan dengan
Air Asia. Melainkan dengan Singapore Airlines. Tujuannya juga bukan Singapura,
seperti hal-nya kebanyakan orang Indonesia. Destinasi saya saat itu adalah
negeri matahari terbit yang terkenal dengan makanan mentahnya alias sushi. Ya,
Jepang, atau lebih tepatnya Osaka. Betul, ini bukan liburan, ini perjalanan
dinas pertama saya ke luar negeri.
Usia saya 22 tahun saat itu, dan saya pergi ke Osaka menggantikan
Pak Bos yang berhalangan hadir. Bayangkanlah, anak kemarin sore yang baru bekerja
di Jakarta kurang dari setahun, baru pertama kali ke luar negeri, disuruh untuk
menghadiri meeting di Osaka, bersama dengan perwakilan dari negara-negara Asia lainnya.
Dan saya harus berangkat sendiri pula. Lengkap sudah. Rasanya seperti disuruh
ikut lomba masak, padahal saya gak bisa masak! Bagaimana kalau saya tidak bisa
mengerti apa yang dibahas pada waktu meeting? Bahasa inggris saya gak jelek
banget sih, tapi saya belum terbiasa memahami bahasa inggris orang Jepang yang
aksennya kadang agak unik bin ajaib. Bagaimana kalau presentasi saya kacau? Bagaimana
kalau saya jadi yang paling bodoh diantara perwakilan negara-negara Asia lainnya?
Dan bagaimana-bagaimana yang lain. Intinya, saya minder.
Sebelum berangkat, Pak Bos menganjurkan saya memperpanjang
waktu dinas saya sehari-dua hari. Mumpung di Jepang, bisa jalan-jalan di Osaka
dan Kyoto, kata si Pak Bos. Saya, yang sudah minder duluan, mentah-mentah
menolak tawaran Beliau. Jangankan pikiran untuk jalan-jalan, rasanya yang ada
di pikiran saya waktu itu semoga saya tidak membuat kekacauan selama meeting,
yang bisa membuat Pak Bos menyesal mengirim saya ke Osaka, hehe.
Tapi pengalaman pertama kali ke Jepang itu sungguh membuka
mata saya. Jepang memberikan saya banyak cerita dan pengalaman baru, yang
membuat saya berjanji ke diri saya sendiri, suatu saat nanti saya harus kembali
ke Jepang, dengan uang saya sendiri, dengan jadwal yang bisa saya susun sesuka
hati. Saya ingin ke Tokyo, melihat Times Square-nya Asia. Mimpi itu ternyata
butuh waktu lebih lama dari yang saya kira untuk mewujudkannya. Lima tahun
kemudian, Air Asia mewujudkan mimpi saya untuk melihat Tokyo!
Tidak hanya mewujudkan mimpi, Air Asia membuat saya melakukan
hal yang tidak pernah saya kira akan berani saya lakukan: berkelana ke Jepang
seorang diri, lagi! Dan kali ini benar-benar seorang diri. Tidak ada lagi yang
akan menjemput saya di Bandara seperti halnya dulu ketika perjalanan dinas.
Tidak ada lagi orang kantor yang akan mengajari saya cara membeli tiket kereta.
Atau mengajak saya makan tempura, hanya karena saya tidak bisa makan makanan
mentah. Saya benar-benar pergi ke Tokyo hanya berbekal ransel!
Ini kedua kalinya saya ke Jepang, tapi pertama kali saya
menginjakkan kaki di Tokyo. Dan perjalanan kedua ini memberikan saya banyak –
jauh lebih banyak – pengalaman berharga. Ini pertama kalinya saya bepergian
seorang diri diluar negara asia tenggara, tempat yang benar-benar asing dimana
kebanyakan warganya tidak bisa berbahasa inggris. Pertama kalinya saya
merasakan tidur di airport. Pertama kalinya saya memberanikan diri mencoba
menjadi couchsurfer – dan menemukan teman yang luar biasa baik! – dan membuat
saya sungguh percaya kalau a stranger is just a friend I haven’t met yet. Saya
menghabiskan waktu hampir dua minggu berkeliling Jepang, dari Tokyo – Hiroshima
– Kyoto – Osaka – Yokohama. Ah! Ternyata
saya bisa!
Lima tahun yang lalu, saya mungkin tidak berani menerima
tawaran Pak Bos untuk berkeliling Osaka. Sekarang, saya sudah melihat banyak
bagian Jepang selain Osaka. Lebih dari itu, perjalanan kedua ini membuat saya
percaya bahwa tidak ada apapun yang bisa membatasi diri kita kecuali pikiran
kita sendiri. Lima tahun lalu, siapa yang menyangka saya bisa berkelana seorang
diri ke Jepang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar